Kamis, 10 Februari 2011

Sekuler? Siapa Takut? (Damai Itu Indah)

Tulisan ini terinspirasi dari beberapa tindak kekerasan bermotif agama yang baru saja terjadi. Terlampir link video kekerasan di Cikeusik dan Temanggung. Video ini mengandung unsur kekerasan dan TIDAK LAYAK DITIRU! Posting video ini bukan untuk mendiskreditkan pihak tertentu ataupun memperkeruh suasana tetapi sebagai pembelajaran agar tidak terulang kembali. Masih banyak diantara kita yang punya solidaritas tinggi terhadap sesamanya (baca tautan tentang: Solidaritas Antar Agama). Damai itu indah!

Membicarakan istilah sekuler (di Indonesia) seakan-akan dianggap tidak memiliki ideologi beragama. Sekulerisme pada dasarnya adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Aktivitas dan penentuan manusia, terutamanya yang berbau politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan (Wikipedia).

Agama memang pada awalnya diciptakan sebagai sarana untuk mendekatkan manusia dengan sang pencipta-Nya. Namun dengan peradaban manusia yang mulai berkembang, agama menjadi bahan komoditas yang bisa digunakan untuk berbagai kepentingan terutama yang berhubungan dengan politik dan kekuasaan. Oleh karena itu, prinsip sekulerisme muncul untuk menghindari disalahgunakannya peran  agama ke dalam urusan duniawi (politik). Jangan salah, sekuler tidak sama dengan atheis! Sekuler adalah pemisahan urusan, bukan masalah percaya kepada Tuhan atau tidak. Penganut sekuler juga beragama, bahkan mungkin fanatik tetapi menempatkan agama di luar urusan politik. Sayangnya, pandangan sekuler masih dijadikan alasan sebagian besar orang (di Indonesia) bahwa sekuler adalah atheis, tidak religius dan bahkan dianggap kafir!


Selama saya mengamati kehidupan di Eropa yang dianggap sebagai penganut sistem sekuler, saya mempunyai pandangan bahwa sekularitas tersebut semata-mata berkembang karena pemikiran manusia yang realistis terhadap kehidupan duniawi. Saya membandingkannya dengan negara-negara yang masih menjadikan agama sebagai dasar ideologi (walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit), apapun itu. Islam yang besar di daerah timur tengah dan sebagian Asia, Hindu dan Budha di sebagian Asia, Kristen Katholik di belahan Afrika, rata-rata tidak bisa membawa kemajuan karena banyak bumbu-bumbu pemikiran yang tidak realistis. Banyaknya ritual, pasrah diri yang berlebihan kepada Sang Pencipta, mengagung-agungkan pemimpin/tokoh agama, pemahaman yang kaku terhadap ajaran agama dan menutup diri terhadap perubahan sejalan dengan perkembangan peradaban manusia menjadi penghambat kemajuan bahkan menjadi pemicu konflik. Masyarakat justru disibukkan dengan menghakimi kebenaran agama lain, mengkritisi cara berpakaian, mengurusi moral orang lain tanpa melihat kepentingan yang lebih besar: kesejahteraan dan kedamaian

Saat seorang Nabi atau tokoh agama dihujat, orang-orang yang mengaku religius berteriak-teriak lantang, berdemonstrai  bahkan siap mati membela agamanya, kalau perlu negara ikut-ikutan menyampaikan protes resminya. Mereka tidak peduli negaranya lebih membutuhkan pemikiran yang realistis untuk menghapus kebodohan dan kemiskinan. Di negara sekuler, mereka adem ayem saja. Kritikan, sindiran bahkan hujatan terhadap agama adalah hal wajar sebagai bentuk ekspresi kebebasan berpendapat. Justru mereka menjadi lebih dewasa dan membalas dengan kritikan dan sindiran, bukan KEKERASAN! Merekapun sadar bahwa mengurusi hal tersebut sangat menguras energi dan dengan sendirinya tidakan itu tidak akan mendapatkan simpati dari masyarakat. Jikalau masih ada riak-riak agama di negara yg menganut sekulerisme, biasanya berasal dari para pendatang yang masih membawa hegemoni ideologi beragama yang berlebihan.

Saat ada orang berselingkuh, seks bebas, pornografi dimana-mana, orang-orang yang mengaku religus ramai-ramai menghujat bahkan negara perlu mengeluarkan peraturan yang mengatur aturan tentang definisi pornografi, perselingkuhan dll. Mereka justru melupakan aturan tentang ekonomi, politik dll. Di negara sekuler, semua itu juga ada tetapi semua ada tetapi tetap terkendali. Negara tidak mengatur perselingkuhan, tetapi ada hukum yang mengatur apabila ada yang merasa dirugikan. Seks bebas dimana-mana tetapi sehat dan bertanggung jawab, pertumbuhan penduduk tetap terkendali (bahkan minus). Pornografi merupakan ladang bisnis yang luar biasa, namun kesadaran menggunakan media yang bersih sangat tinggi. Hukum ditegakkan dengan ketat, budaya malu sangat dikedepankan. Perbaikan mental dilakukan sejak dini melalui pendidikan, bukan sibuk membuat undang-undang dan megadakan ceramah-ceramah saat kejadian sudah terjadi.

Kini orang Eropa yang dianggap menganut sekularisme dan merupakan pusat pertumbuhan Kristen pada masa lalu, menjadikan gereja dan bangunan religius peninggalan masa lalu sebagai objek wisata unggulan. Vatikan sebagai pusat ke-Katholik-an Roma pun sudah membuka diri terhadap pemikiran bisnis pariwisata. Ibadah di gereja-gereja megah di hari Minggu hanya dihadiri oleh beberapa kaum tua dan anak-anak, tetapi sangat ramai dikunjungi wisatawan. Namun justru hal inilah yang mejadikan orang lebih menghargai keberadaan bangunan itu. Rumah ibadah-pun pun justru lebih bermanfaat, menjadi terpelihara, menarik, menghasilkan uang, mewartakan sejarah, menjadi pusat penelitian dan lain-lain. Sebuah pemikiran realistis, bahwa warisan sejarah dan budaya mempunyai peran penting untuk mensejahterakan kehidupan umat manusia. Secara tidak langsung saya melihat hal ini mulai merambah kawasan timur tengah. Arab Saudi menjadikan Mekah sebagai tempat wisata dengan dalih ibadah haji. Milyaran dolar diraup dari bisnis ibadah haji. Negara-negara di sekitarnya seperti Qatar, Uni Emirat Arab dll mulai berpikir realistis dengan membangun kota-kota modern dengan tentunya bernuansa religius sebagai daya pemikatnya. Namun sayang, mereka masih membungkus sekularisme tersebut dengan kedok agama, tentunya karena gengsi sebagai tanah asal muasal orang-orang suci. Untuk berpesta dan berfoya-foya mereka lebih memilih Amerika dan Eropa, yg dianggap lebih aman dan nyaman.

Pada hari Natal dan Tahun Baru, nuansa yang muncul adalalah kebersamaan dalam kedamaian. Mungkin tidak banyak yang pergi ke gereja, namun masyarakat Eropa memaknai Natal sebagai saat yang tepat untuk mengingat keberadaan manusia akan Tuhannnya. Memang banyak kritik mengenai kondisi tersebut, perayaan hari besar agama cenderung berubah dari makna aslinya.Apapun kritikannya: kapitalis, atheis, kafir dll namun terbukti negara sekuler itu jauh;lebih maju daripada negara non-sekuler, dari jaman ke jaman.

Sejujurnya saya masih berada di antara keduanya, sekuler atau agamis. Sangat disayangkan juga apabila suatu saat kehidupan beragama ditinggalkan dan cenderung mendewakan materi di dunia. Namun lebih parah lagi apabila pemahaman agama yang sempit justru menghancurkan kehidupan duniawi. Bagi saya, beragama itu adalah kepercayaan, bukan paksaan. Kepada siapa kita berserah? hanya kepada Tuhan, yang saya ketahui Maha Esa untuk semua jenis dan golongan manusia di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bantuan Peta

Anda Berkunjung Dari