Jumat, 03 September 2010

Perang dengan Malaysia???

Saat sedang sibuk-sibuknya menulis proposal thesis tiba-tiba ada berita menggelitik dari tanah air yaitu sengketa batas perairan antara Indonesia dan Malaysia. Nelayan Malaysia ditangkap dan petugas KKP dikeler. Awalnya saya tertarik dengan tema sengketa batasnya namun lama-lama saya jadi tergelitik dengan tema politis yang cenderung dibesar-besarkan, apalagi diberi ramuan dan bumbu penyedap khas politik Indonesia. Berita di media tanah air sungguh mengejutkan. Dari semula tangkap menangkap menjelma menjadi kata-kata populer: ganyang...perang..wuihh. Hampir semua tulisan di media dan opini mulai mengungkit-ungkit kembali rasa nasionalisme. Tema perbatasan, kedaulatan menjadi lebih panas dengan ditambahi dengan tema harkat dan martabat bangsa. Sungguh provokasi dan strategi yang sempurna.

Saya melihat alur cerita sengketa batas ini sudah jauh melenceng. Dari banyak berita dan artikel yang saya baca, tema tentang batas laut yang belum disepakati antara Indonesia dan Malaysia menjadi kabur, politisasi masalah ini meluas menjadi penyudutan kepada pemerintah terutama pejabat-pejabat negara. Saya cenderung yakin terhadap keterangan Menlu RI yang menyatakan bahwa petugas KKP tidak mempunyai bukti kuat saat menangkap nelayan Malaysia karena GPS-nya mati. Walaupun nelayan itu memasuki wilayah yang kita klaim tetapi apabila tidak bisa dibuktikan maka akan sulit untuk memprosesnya. 

Seandainya kita tetap bersikukuh-pun maka persolannya menjadi lebih berat karena kejadian ini diamati juga oleh masyarakat internasional yang melek hukum. Namun demikian, penangkapan petugas Indonesia juga perlu disesalkan walaupun akhirnya dilepaskan juga. Gelombang unjuk rasa anti Malaysia di Indonesia saat ini saya nilai sudah terlalu berlebihan. Dari sekedar opini di internet sampai dengan aksi fisik. Dari mengejek negara tetangga sampai menjelek-jelekkan pejebat negara. Apa boleh buat, inilah Indonesia. 

Namun indera saya mencium ada beberapa skenario terjadinya gerakan-gerakan dahsyat ini: 

1. Ada pihak ketiga yang mendorong permusuhan antara Indonesia dan Malaysia. Dengan konflik kedua negara ini, maka mereka akan mendapatkan peluang untuk memancing di air keruh. 

2. Ada provokator dalam negeri yang mempunyai agenda tertentu untuk menggoyang pemerintah yang berkuasa. Media massa yang hampir semua dikuasi oleh orang-orang yang berbeda pandangan dengan pemerintah telah sukses membuat opini masyarakat untuk membenci Malaysia dan pada akhirnya membenci pemerintahnya sendiri. Media massa membombardir masyarakat dengan mengungkit-ungkit luka lama, menampilkan tokoh nasionalis yang dahulu berapi-api ingin berperang dan mengungkapkan kelemahan-kelemahan saat ini. Luar biasa..hal ini sangat sukses. Tidak hanya masayarakt biasa, masyarakat berpendidikan pun mulai terbawa arus dengan irama tersebut, bahkan isu perang fisik-pun sudah direstui oleh beberapa kalangan yang semula dianggap "terpelajar". 

3. Ada orang-orang tertentu yang numpang tenar. Nah..ini yang paling untung. Mereka yang semula tidak mempunyai bahan untuk berbicara tiba-tiba menjadi terkenal. Dengan membawa nama nasionalisme maka semua orang akan mendukungnya. 

Pernyataan presiden maupun menteri yang menyatakan akan mendahulukan diplomasi membuat saya lega. Walaupun hampir 90% masyarakat menghujat namun saya justru menilai itulah sikap yang rasional, dengan alasan: 
1. Perang memerlukan biaya besar. Rata-rata mereka yang menyatakan ingin berperang adalah kalangan menengah yang bisa beropini bebas. Sedangkan masyarakat kelas bawah lebih disibukkan dengan urusan menjelang lebaran:) Masalahnya, mereka yang berkoar-koar ingin berperang belum tentu melakukannya apabila hal ini benar-benar terjadi. Fokus negara untuk berperang harus dibayar mahal dengan rusaknya sumberdaya yang telah terbangun. 
2. Indonesia adalah negara bermartabat. Dunia membenci perang. Kita hidup di dunia internasional. Kita harusnya punya rasa malu untuk berperang hanya gara-gara sengketa batas. Apa kata dunia kalau sebagai negara pendiri ASEAN kita malah mengobarkan peperangan. Sikap tegas tidak harus dengan kekerasan. Saya cenderung setuju untuk berperang secara diplomasi dan ekonomi. Perang adalah jalan terakhir apabila memang pihak lain mengajak konfrontasi. TKI dan investasi harus terlebih dahulu diselamatkan kalau kita ingin berperang. Dengan penduduk 234 juta jiwa kita tidak akan kalah perang, namun secara psikologis negara kita akan mundur kembali ke belakang. 

Salut kepada para pihak yang telah berhasil mengembangbiakkan isu ini. Dari sekedar klaim batas, perang, sekarang sudah memasuki ranah ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Saya takut ada yang tertawa senang dengan situasi ini sementara orang-orang tidak sadar dan terlena ke isu yang lebih luas lagi: pergantian kekuasaan. 

Ahhh...tapi ini Indonesia Bung..hangat-hangat tahi ayam. Semoga kita segera bisa melupakan polemik ini. Mereka yang ingin sukarela berperang lebih baik sekarang berperang terhadap kekurangan diri sendiri. Apakah anda sudah bekerja dengan baik, menjalankan kewajiban, mentaati peraturan? Kalau kita sukses mengelola bangsa sendiri, Malaysia pasti akan berpikir ulang membuat konflik dengan Indonesia. Selama kita masih suka berkoar-koar namun lemah di dalam, negara jiran ini pasti akan dengan senang hati terus membuat konflik dan tertawa-tawa di atas penderitaan kita. Mari kita kembali ke perjuangan sejati. Ini abad modern..pidato berapi-api saatnya diganti dengan bekerja berapi-api. Berperanglah dengan mengabdi kepada bangsa ini sesuai dengan keahlian masing-masing. I'm proud to be INDONESIAN!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bantuan Peta

Anda Berkunjung Dari