Judulnya provokatif ya? Opini yang berkembang tentang banyaknya acara studi banding yang dilakukan pejabat negara dan anggota dewan membuat dunia komentator sangat ramai. Apalagi acara itu bersamaan dengan serentetan bencana yang menimpa negeri tercinta. Bisa saja memang acara itu sangat nyaman untuk dikritik dan dihujat dan lama-lama membosankan. Namun ada sisi lain yang terlupakan, yang mungkin menarik untuk direnungkan.
Banyak pihak-pihak yang latah menuding busuknya acara studi banding. Hmm..sebelum ikut-ikutan latah saya terlebih dahulu memberikan alasan kenapa studi banding itu perlu. Awalnya sebelum saya bisa berangkat ke luar negeri, ada rasa jengkel juga kalau mendengar acara plesiran tersebut. Namun sesudah beberapa lama saja menjadi tergerak untuk mencari nilai positif dari studi banding. Kita hidup di dunia global yang mentertawakan kita apabila menjadi katak dalam tempurung. Banyak ilmu di seantero dunia ini yang belum bisa kita ambil manfaatnya. Banyak peradaban di belahan dunia lain yang sungguh jauh meninggalkan kita. Banyak berbagai peluang yang menunggu uluran tangan kita. Apa sih alasan saya kok berpendapat melawan arus?
Internet menjadi sasaran utama untuk meng-ilegalkan studi banding. Dengan alasan kecanggihan internet, studi banding tidak perlu dilakukan. Saya sangat tidak setuju dengan hal itu. Internet bukanlah segala-galanya. Banyak informasi sampah yang menumpuk di sana. Namun yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa belajar secara langsung, merasakan atomsfer dan mengalami sendiri apa yang kita ingin bandingkan. Contoh kecil saja adalah budaya tertib. Ada milyaran referensi mengenai hal itu di internet. Berpuluh-puluh tahun orang belajar hal itu, termasuk saya, tetapi merasa cuek dan belum pernah bisa melaksanakannya. Namun ketika kita melihat, merasakan dan mengalaminya langsung, rasa sedih dan menyesal kenapa kita tidak bisa seperti itu. Hal ini jelas saya lihat ketika teman-teman yang baru datang di negeri ini memposting tulisan yang sama: membandingkan kondisi di negara tercinta dengan kondisi di negara perantauan. Dan sisi positifnya, mereka segera menyadari dan belajar mengapa hal itu bisa terjadi.
Alasan menghamburkan uang juga tidak selamanya benar. Jikalau studi banding itu sudah direncanakan dengan matang dan dengan biaya yang rasional, oke sajalah. Mengatasnamakan kemiskinan rakyat, kelaparan rakyat sangat tidak pantas. Tidak semudah membalik telapak tangan dengan membagi-bagikan uang untuk menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Studi banding harus dijadikan investasi jangka panjang, bukan sesaat yang di kemudian hari malah memperparah keadaan.
Menurut saya, faktor yang membuat studi banding menjadi positif adalah: Siapa dan Kapan??
Siapa? Saya sangat berharap sasaran studi banding ini harus jelas, yaitu demi kepentingan bersama, bukan pribadi dan keluarga. Petani, nelayan, guru, pengusaha muda, UKM, pelajar, mahasiswa: inilah yang wajib dibawa ke luar negeri untuk melihat dunia luar. Saya sangat gembira ketika mendengar ada petani kita yang dikirim ke berbagai negar untuk belajar holtikultura. Guru dan murid dilibatkan dalam pertukaran antar negara. Pada waktu BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) se-nusantara berkunjung ke tempat kami, pro dan kontra segera merebak. Banyak yang menghujat. Namun bagi saya, justru kedatangan mereka adalah penting. Jangan biarkan generasi penerus itu berkutat di kampus mereka yang pada akhirnya menjadi mahasiswa jago kandang.
Bagaimana dengan pejabat? Nah ini lain lagi. Saya tidak anti pejabat yang hendak studi banding. Tapi rasanya prioritas bukanlah untuk mereka. Pak Bupati, Gubernur, maksimal sekali saja ke luar negeri dalam setahun, hitung-hitung sambil liburan nggak papa. Presiden, menteri juga cukup meghadiri acara-acara resmi yang penting. Pejabat eselon lebih baik tidak pergi kecuali ada undangan. Anggota dewan?? ini dia si biang kerok..bagi saya anngota dewan tidak harus berbondong-bondong ke luar negeri. Cukup perwakilan saja, sedangkan yang lain harus siap sedia memikirkan kepentingan rakyat. Lalu bagaiman jika yang tidak berangkat lalu menjadi iri? Emang gue pikirin...
Kapan? Singkat saja: saat kondisi di dalam negeri memerlukannya. Bukan di saat bencana, di saat konflik, di saat bermasalah dengan hukum..bukan ketika tenega dan pikiran kita sangat dibutuhkan. Namun saat ini sisi positif itu tertutup sudah dengan perilaku busuk mereka-mereka yang ke luar negeri hanya untuk jalan-jalan. Bahkan mereka pergi saat negeri dalam keadaan susah. Mereka mengajak keluarganya meninggalkan saudara-saudara sebangsanya menderita. Masih mendingan mahasiswa dan pelajar di luar negeri yang dengan beaiswa pas-pasan tetapi tekun belajar, menyumbangkan materi dan pikiran untuk membantu saudara-saudaranya di tanah air dan tidak lupa tekun mencari wisata murah:)
Oleh karena itu, bagi saya sisi positif itu harus diangkat kembali. Berilah kesempatan kepada warga negara yang berpotensi untuk belajar, melihat, mendengar dan merasakan bagaimana kehidupan di dunia luar. Ini investasi jangka panjang, dan semoga suatu saat mereka bisa membalik keadaan dengan memikat orang luar untuk melakukan studi banding ke negara kita. Bravo!
Banyak pihak-pihak yang latah menuding busuknya acara studi banding. Hmm..sebelum ikut-ikutan latah saya terlebih dahulu memberikan alasan kenapa studi banding itu perlu. Awalnya sebelum saya bisa berangkat ke luar negeri, ada rasa jengkel juga kalau mendengar acara plesiran tersebut. Namun sesudah beberapa lama saja menjadi tergerak untuk mencari nilai positif dari studi banding. Kita hidup di dunia global yang mentertawakan kita apabila menjadi katak dalam tempurung. Banyak ilmu di seantero dunia ini yang belum bisa kita ambil manfaatnya. Banyak peradaban di belahan dunia lain yang sungguh jauh meninggalkan kita. Banyak berbagai peluang yang menunggu uluran tangan kita. Apa sih alasan saya kok berpendapat melawan arus?
Internet menjadi sasaran utama untuk meng-ilegalkan studi banding. Dengan alasan kecanggihan internet, studi banding tidak perlu dilakukan. Saya sangat tidak setuju dengan hal itu. Internet bukanlah segala-galanya. Banyak informasi sampah yang menumpuk di sana. Namun yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa belajar secara langsung, merasakan atomsfer dan mengalami sendiri apa yang kita ingin bandingkan. Contoh kecil saja adalah budaya tertib. Ada milyaran referensi mengenai hal itu di internet. Berpuluh-puluh tahun orang belajar hal itu, termasuk saya, tetapi merasa cuek dan belum pernah bisa melaksanakannya. Namun ketika kita melihat, merasakan dan mengalaminya langsung, rasa sedih dan menyesal kenapa kita tidak bisa seperti itu. Hal ini jelas saya lihat ketika teman-teman yang baru datang di negeri ini memposting tulisan yang sama: membandingkan kondisi di negara tercinta dengan kondisi di negara perantauan. Dan sisi positifnya, mereka segera menyadari dan belajar mengapa hal itu bisa terjadi.
Alasan menghamburkan uang juga tidak selamanya benar. Jikalau studi banding itu sudah direncanakan dengan matang dan dengan biaya yang rasional, oke sajalah. Mengatasnamakan kemiskinan rakyat, kelaparan rakyat sangat tidak pantas. Tidak semudah membalik telapak tangan dengan membagi-bagikan uang untuk menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Studi banding harus dijadikan investasi jangka panjang, bukan sesaat yang di kemudian hari malah memperparah keadaan.
Menurut saya, faktor yang membuat studi banding menjadi positif adalah: Siapa dan Kapan??
Siapa? Saya sangat berharap sasaran studi banding ini harus jelas, yaitu demi kepentingan bersama, bukan pribadi dan keluarga. Petani, nelayan, guru, pengusaha muda, UKM, pelajar, mahasiswa: inilah yang wajib dibawa ke luar negeri untuk melihat dunia luar. Saya sangat gembira ketika mendengar ada petani kita yang dikirim ke berbagai negar untuk belajar holtikultura. Guru dan murid dilibatkan dalam pertukaran antar negara. Pada waktu BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) se-nusantara berkunjung ke tempat kami, pro dan kontra segera merebak. Banyak yang menghujat. Namun bagi saya, justru kedatangan mereka adalah penting. Jangan biarkan generasi penerus itu berkutat di kampus mereka yang pada akhirnya menjadi mahasiswa jago kandang.
Bagaimana dengan pejabat? Nah ini lain lagi. Saya tidak anti pejabat yang hendak studi banding. Tapi rasanya prioritas bukanlah untuk mereka. Pak Bupati, Gubernur, maksimal sekali saja ke luar negeri dalam setahun, hitung-hitung sambil liburan nggak papa. Presiden, menteri juga cukup meghadiri acara-acara resmi yang penting. Pejabat eselon lebih baik tidak pergi kecuali ada undangan. Anggota dewan?? ini dia si biang kerok..bagi saya anngota dewan tidak harus berbondong-bondong ke luar negeri. Cukup perwakilan saja, sedangkan yang lain harus siap sedia memikirkan kepentingan rakyat. Lalu bagaiman jika yang tidak berangkat lalu menjadi iri? Emang gue pikirin...
Kapan? Singkat saja: saat kondisi di dalam negeri memerlukannya. Bukan di saat bencana, di saat konflik, di saat bermasalah dengan hukum..bukan ketika tenega dan pikiran kita sangat dibutuhkan. Namun saat ini sisi positif itu tertutup sudah dengan perilaku busuk mereka-mereka yang ke luar negeri hanya untuk jalan-jalan. Bahkan mereka pergi saat negeri dalam keadaan susah. Mereka mengajak keluarganya meninggalkan saudara-saudara sebangsanya menderita. Masih mendingan mahasiswa dan pelajar di luar negeri yang dengan beaiswa pas-pasan tetapi tekun belajar, menyumbangkan materi dan pikiran untuk membantu saudara-saudaranya di tanah air dan tidak lupa tekun mencari wisata murah:)
Oleh karena itu, bagi saya sisi positif itu harus diangkat kembali. Berilah kesempatan kepada warga negara yang berpotensi untuk belajar, melihat, mendengar dan merasakan bagaimana kehidupan di dunia luar. Ini investasi jangka panjang, dan semoga suatu saat mereka bisa membalik keadaan dengan memikat orang luar untuk melakukan studi banding ke negara kita. Bravo!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar