Rabu, 21 Maret 2012

Agama Nusantara

Tertarik dengan beberapa kasus bermotif agama, membuat saya makin tertegun untuk mempertanyakan kenapa hal itu bisa terjadi. Contoh-contoh kasus yang semakin kompleks dan meluas semakin memprihatinkan saja. Hampir semua agama dan golongan terlibat  konflik agama walaupun memang yang mayoritas lebih dominan. Entah ditutupin dengan alasan apapun tetap saja konflik-konflik tersebut berbau agama. Mulai dari penghalangan beribadah, penghinaan sampai pengeboman, semua menyangkut agama.

Dasar agama yang menjadi roh dari konflik itu seakan-akan memutarbalikkan 'teori' tentang keagamaan. Setiap agama mengklaim bahwa mereka tidak mengajarkan kebencian dan kekerasan, namun praktek di lapangan menunjukkan lain. Ajaran yang seharusnya lurus menjadi berkelok-kelok sesuai aliran alam.

Semua agama di Indonesia adalah "pendatang". Kebanyakan berasal dari belahan timur tengah yang notabene pasti dipengaruhi budaya negeri asalnya. Jargon agama universal sepertinya tidak bisa seratus persen bisa diterima. Budaya-budaya 'bawaan' dari negeri asalnya seringkali bertabrakan dengan budaya lokal. Hal inilah yang bisa memicu terjadinya konflik dan gesekan, baik dengan agama lain maupun dengan budaya setempat.





Indonesia adalah negara besar dengan penduduk yang mempunyai beragam budaya.  Beberapa agama 'import' memang telah menyesuaikan dengan budaya setempat agar dapat diterima masyarakat lokal. Penyesuaian bahasa, tata cara ibadah dan tata cara berbusana merupakan ciri-ciri menonjol agama yang sudah menyatu dengan budaya setempat. Agama Nasrani telah dapat membaur melalui bahasa dan kesenian, agama Hindu dan Budha telah menjiwai budaya sejak jaman kerajaan-kerajaan dahulu sedangkan agama Islam pada awal penyebarannya telah memanfaatkan adat budaya lokal Indonesia.

Permasalahan sekarang muncul ketika agama-agama 'import' tersebut justru meninggalkan penghargaan terhadap budaya lokal dan kembali ke sifat asal muasalnya. Dengan alasan agar lebih religius dan kembali ke ajaran yang benar, agama-agama ini memaksakan budaya import ke dalam budaya lokal. Bahasa yang digunakan harus bahasa bawaan kitab suci, cara berpakaian sedapat mungkin menyamai agama di negeri asalanya dan memaksakan berlakunya hukum-hukum agama di atas hukum nasional. 

Melihat fenomena ini, sebuah cetusan bernama "agama nusantara" menjadi sebuah gagasan yang menarik. Indonesia (nusantara) dengan budaya lokalnya tentu tidak kalah dengan budaya-budaya agama import. Walaupun perlu diakui bahwa penataan budaya lokal kurang "rapih" dibanding doktrin agama yang sangat lengkap. Agama nusantara dapat diwujudkan dengan dua hal: pe-nusantara-an agama import dan pengakuan terhadap filsafat lokal sebagai agama. Agama import selama bisa berakulturasi dengan budaya lokal akan lebih berbudaya daripada agama kolot yang merasa paling benar. Islam dengan wayang kulitnya, Nasrani dengan misa/kebaktian gamelannya, Hindu/Budha dengan tarian dan benda-benda seninya justru lebih mempunyai roh nusantara. Selain itu budaya lokalpun seharusnya diterima sebagai agama nusantara. Penganut kepercayaan bukanlah kafir. Mereka juga punya tatanan yang bisa disebut agama. Kekayaan budaya lokal yang menhajarkan kebajikan bisa jadi lebih menjiwai kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Jadi, apapun agamanya, selama jiwa dan budaya nusantara bisa dipegang maka agama import yang memaksakan budayanya hendaknya tidak diberi ruang untuk berkembang di negara tercinta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bantuan Peta

Anda Berkunjung Dari